HALOJABAR.CO – Agen dan pangkalan LPG di Kabupaten Bandung Barat (KBB) belum siap, kebijakan beli gas 3 kg sebaiknya dikaji ulang.
Pemerintah pusat diminta meninjau ulang kebijakan larangan penjualan eceran gas elpiji 3 kg di warung kelontong. Pasalnya hal itu memicu kelangkaan gas elpiji di masyarakat dan sulit untuk mendapatkannya.
Terlebih di wilayah KBB yang kondisi geografisnya cukup luas, keberadaan agen dan pangkalan selaku distributor resmi yang ditunjuk pemerintah untuk menjual gas belum merata ke seluruh wilayah.
Kondisi itu mengakibatkan satu pangkalan gas bisa diserbu oleh masyarakat. Belum lagi mereka harus rela antre hingga merogoh kocek dalam untuk ongkos menempuh perjalanan ke lokasi agen atau pangkalan gas yang jaraknya jauh.
“Kami berharap pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan tersebut atau melakukan evaluasi ulang. Pasalnya, dari sisi faktor penunjang seperti keberadaan pangkalan belum sepenuhnya siap,” kata Kepala Disperindag KBB, Ricky Riyadi saat dihubungi, Selasa 4 Februari 2025.
Menurutnya tidak mungkin semua warung bisa jadi pangkalan. Sehingga sebaiknya meminta waktu agar dikembalikan seperti semula sembari menunggu memperbanyak pangkalan ke daerah-daerah.
BACA JUGA: Warga KBB Keluhkan Kebijakan Penjualan LPG 3 Kg yang Dilakukan di Pangkalan Resmi Pertamina
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) KBB mencatat, jumlah pangkalan gas elpiji di Kabupaten Bandung Barat ada 1.033 unit dan agen 41 unit. Angka tersebut tentu belum ideal untuk menjangkau seluruh konsumen apalagi di wilayah pelosok.
Supaya bisa distribusi gas elpiji 3 kilogram merata di KBB, minimal harus ada satu RW satu pangkalan. Jika tidak bisa, keberadaan pangkalan disesuaikan dengan jumlah penerima bantuan elpiji di satu wilayah.
“Dari 2.400 RW di KBB pangkalan cuma 1.033. Harusnya minimal mendekati jumlah RW,” ucapnya.
Ia menyebut, dari sisi stok, pasokan gas elpiji 3 kilogram di Bandung Barat tetap aman. Karena jatah tiap kabupaten/kota telah ditetapkan. Terjadinya kelangkaan gas saat ini dipicu kebijakan tak bisa dijual di warung kelontong. Sehingga, distribusi kepada konsumen terhambat.
“Misalnya warga di pelosok Gununghalu, satu desa hanya dua pangkalan. Biasanya beli gas 3 kg di warung Rp24 ribu. Sekarang harus beli ke pangkalan dengan harga Rp20 ribu, tapi harus naik ojek, jadi lebih mahal,” ujarnya.
Sehingga ada baiknya dulu memperbanyak pangkalan di setiap pelosok. Memang syarat kalau legalitas untuk buat pangkalan hanya NIB saja. Cuman, yang menjadi kendala bagi warung kecil itu masalah modal.