Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Sebut Astacita Bidang Pertanian Perlu Dukungan Infrastruktur dan Modal Sosial

Guru Besar Ekonomi Pertanian UIN Syarif Hidayatullah, Achmad Tjachja usai orasi ilmiah dalam acara Dies Natalis ke-66 Fakultas Pertanian, Unpad, di Kota Bandung, Sabtu (20/9/2025). Foto/Humas

HALOJABAR.CO – Program Astacita Presiden di bidang pertanian tidak cukup hanya dukungan infrastruktur tapi juga modal sosial.

Mengingat persoalan kemiskinan desa masih menjadi tantangan serius sehingga implementasi pembangunan harus melibatkan masyarakat secara aktif.

“Program Astacita Presiden sudah berjalan baik namun perlu penguatan pada sisi sosial. Yakni pentingnya menghidupkan kembali modal sosial seperti gotong royong agar pembangunan pertanian lebih inklusif dan berkelanjutan,” kata Guru Besar Ekonomi Pertanian UIN Syarif Hidayatullah, Achmad Tjachja kepada wartawan di Bandung, Sabtu (20/9/2025).

Pembangunan pertanian tidak cukup hanya menguatkan infrastruktur fisik, tapi juga harus memperkuat investasi modal sosial. Kalau itu dikembangkan menjadi satu paket, akselerasi pembangunan akan lebih komprehensif.

Oleh karena itu komunikasi dua arah antara pemerintah dan masyarakat pedesaan. Jika masyarakat dilibatkan secara aktif, percepatan pembangunan akan terasa lebih masif.

Achmad menyoroti data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan ketimpangan sosial di Jawa Barat. Kemiskinan masih terkonsentrasi di wilayah desa dan perdesaan, sementara daerah perkotaan tidak sepenuhnya bebas dari persoalan serupa.

“Bandung di kota dan Bandung di barat, walaupun dekat, tingkat kemiskinannya berbeda. Bandung Barat tingkat kemiskinannya mendekati wilayah Indramayu. Ini kan aneh,” ujarnya.

Ia menilai, meski angka kemiskinan Jawa Barat secara agregat rendah, jumlah absolutnya tetap besar dan menjadi masalah serius.

“Oleh karena itu, pendekatan pembangunan tidak bisa hanya dari atas (top-down), tetapi harus mendorong partisipasi masyarakat,” ucapnya.

Faktor penyebab kemiskinan, kata Achmad, salah satunya adalah degradasi modal sosial (social capital).

Dulu, masyarakat terbiasa bekerja sama dan menyelesaikan masalah secara kolektif, namun kini orientasi lebih banyak berbasis upah dan proyek padat karya.

“Modal yang dulu berbasis gotong royong sekarang berubah jadi berbasis upah. Itu memicu degradasi,” jelasnya.

Achmad juga mengkritisi peran pemerintah provinsi yang dinilai belum optimal dalam menekan ketimpangan. Menurutnya, pembangunan infrastruktur yang terus meningkat tidak otomatis menurunkan kemiskinan secara signifikan.

“Kalau infrastruktur naik 100%, kemiskinan tidak otomatis turun 100%. Hanya sekitar 60% turun. Artinya ada yang tidak nyampe,” ujarnya.

Dirinya mendorong agar pemerintah menghidupkan kembali semangat koperasi dengan memperbaiki pengelolaan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Alumni Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Nanang Hendro, menambahkan persoalan ketimpangan dan kemiskinan di Jawa Barat harus dijawab dengan kebijakan yang berbasis kebutuhan petani di lapangan.

“Petani tidak hanya butuh bantuan pupuk atau subsidi, tetapi juga pendampingan dan akses pasar. Tanpa itu, produktivitas mereka tidak akan meningkat,” ujarnya. (*)