Miris, Keluarga dengan 8 Anak di Cikalongwetan KBB Tinggal di Rumah tidak Layak Huni

Rumah tidak Layak Huni KBB 1
Yadi Suryadi (52) beserta istri dan anak-anaknya, warga Kampung Cikara II RT01/12, Desa Cisomang Barat, Kecamatan Cikalongwetan, KBB, yang tinggal di rumah kurang layak dan membutuhkan bantuan. (Foto: Istimewa)

HALOJABAR.CO – Keluarga dengan 8 orang anak di Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB), tinggal di rumah tidak layak huni dengan kondisi memprihatinkan.

Rumah milik keluarga Yadi Suryadi (52), warga Kampung Cikara II RT01/12, Desa Cisomang Barat, yang berukuran 7×9 meter tersebut sangat jauh dari kata layak untuk ditempati.

Pasalnya di sejumlah bagian sudah banyak yang rusak dan bolong, termasuk di atapnya juga kerap bocor jika hujan turun.

Namun akibat keterbatasan ekonomi, Yadi beserta istri dan delapan orang anaknya tetap bertahan di rumah dengan kondisi yang amat memprihatinkan tersebut. Sebab dirinya tidak memiliki tempat tinggal lagi.

Pantauan di lokasi, kondisi rumah Yadi merupakan rumah panggung tempo dulu dengan dinding bambu yang sudah rapuh. Bahkan, lubang-lubang berukuran besar terlihat jelas di beberapa ruangan, terutama di bagian dapur dan ruang tamu yang sempat ambruk dan menimpa sejumlah barang, seperti rak piring hingga kasur.

Tak cuma itu, tiang-tiang kayu penyangga di rumah tersebut terlihat sudah lapuk dimakan usia. Bahkan, tatkala hujan tiba air masuk melalui atap yang sudah rusak dan masuk membanjiri rumah dengan lantai kayu tersebut.

“Saya tinggal di rumah ini sudah sekitar 20 tahun, dulunya punya orang tua dan sekarang saya tempatin,” tuturnya, Rabu 22 Januari 2025.

BACA JUGA: Dikdik Nugrahawan Janji Benahi 3.000 Rutilahu di Cimahi Jika Terpilih dalam Pilwalkot

Dia mengaku, saat hujan tiba rumah yang dihuninya tersebut kerap banjir. Apalagi bersamaan dengan angin kencang yang membuatnya kian khawatir rumahnya bisa ambruk secara permanen.

Ada terbersit keinginan untuk memperbaiki rumahnya, tapi lantaran kondisi ekonomi, tidak memungkinkan bagi dirinya untuk merenovasi rumah yang telah menjadi bagian dari sejarah perjalanan hidupnya itu.

“Penghasilan saya gak tentu, kerja juga serabutan, pagi nyari rumput buat pakan kambing orang. Siang atau sore ngajar ngaji anak-anak kampung,” ucapnya.

Apalagi dirinya juga harus membiayai kedelapan anaknya, yakni SD 3 orang, 2 di pondok pesantren dan 3 masih kecil-kecil. Mesti dibantu istrinya yang kerja kuli bungkus di pabrik basreng dengan gaji Rp150 ribu per minggu, tetap saja uangnya habis untuk kebutuhan sehari-hari.

“Paling kadang-kadang saya coba sedikit untuk memperbaiki dengan mengumpulkan bambu atau kayu yang dikasih orang buat nahan atap yang ambruk di dapur,” kata dia.

Hingga kini lanjut dia, rumah tersebut belum pernah sedikitpun mendapatkan bantuan dari pemerintah. Meski sempat dulu ada aparat kewilayahan yang sempat menyampaikan keluarganya sudah didaftarkan dalam program rumah tidak layak huni (rutilahu), namun hingga bertahun lamanya wacana itu tak pernah terealisasi.