Pegiat Sampah Nilai Kebijakan Pemilahan Sampah oleh Pemkot Cimahi Belum Maksimal

TPA Kopi Luhur
Ilustrasi. (Adi Haryanto/HALOJABAR.CO)

HALOJABAR.CO – Kebijakan pemilahan sampah yang digaungkan Pemkot Cimahi untuk mengentaskan persoalan sampah masih belum menyelesaikan permasalahan di lapangan.

Elemen pegiat sampah di Kota Cimahi lantas mengkritik kebijakan tersebut mengingat masih banyaknya warga yang tidak memahami cara memilah sampah berdasarkan jenis dan jadwal hari pembuangannya.

“Kebijakan ini masih membuat bingung di masyarakat, bisa jadi masyarakat belum dilihat sebagai subjek dan juga objek,” kata Ketua Perkumpulan Pengelola Sampah dan Bank Sampah Nusantara (Perbanusa) Kota Cimahi, Wahyu Dharmawan belum lama ini.

Dia menyebutkan, perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap semua kontributor lapangan saat program Orang Cimahi Pilah Sampah (Ompimpah) dicanangkan.

Wahyu menilai, komunikasi merupakan kunci utama agar pesan yang ingin disampaikan pemerintah benar-benar sampai dan dipahami oleh masyarakat.

“Komunikasi itu adalah seni menyampaikan agar pesan tersampaikan. Boleh jadi ada edukator yang sudah menyampaikan, tapi pesannya tidak tersampaikan,” tuturnya.

BACA JUGA: Peringati Hari Lingkungan Hidup Dunia, Pemkot Cimahi Gelar Aksi Pungut Sampah Plastik

Selain itu, lanjut Wahyu, pihaknya juga menyoroti aspek kuantitas edukator yang turun ke lapangan. Menurutnya, minimnya tenaga edukator membuat jangkauan edukasi menjadi terbatas.

Edukasi seharusnya bukan sekadar memberikan informasi. Namun juga harus memberikan inspirasi sehingga membuat orang mau berubah. Pendekatan inspiratif harus lebih dominan dalam proses edukasi sampah, bukan sekadar informatif.

Menurutnya, jika hal ini yang menjadi akar masalah, Perbanusa siap berkolaborasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.

“Kami siap bantu agar bank sampah unit hadir di 312 RW, serta produktif mengedukasi warganya. Targetnya, 80 persen warga Cimahi bisa mengelola sampahnya sendiri,” tuturnya.

Wahyu juga menekankan bahwa materi yang disampaikan para edukator sebaiknya merujuk pada praktik terbaik masa kini, bukan sekadar teori lama yang sudah usang dan standar.

Sementara terkait sistem hari organik dan anorganik, Wahyu menilai konsep ini bisa terus disesuaikan dengan efektivitas edukasi di lapangan.

“Ke depan, komposisinya tidak harus satu banding satu atau berselang satu hari. Kalau edukasi efektif, hari organik bisa dikurangi, hari anorganik bisa ditambah variasinya,” pungkasnya.***