Menurut Didi, keberadaan trotoar ramah disabilitas tidak akan optimal tanpa perubahan perilaku masyarakat.
Ia memgingatkan, pentingnya kesadaran kolektif warga untuk menjaga fungsi trotoar tetap sesuai peruntukannya.
Sebab, sering kali trotoar yang sudah dibangun justru digunakan untuk aktivitas seperti berdagang, parkir liar, atau nongkrong yang memakan badan trotoar.
“Infrastruktur yang inklusif harus dibarengi dengan perilaku yang inklusif juga. Kalau trotoar dipakai buat dagang atau parkir, ya disabilitas tetap enggak bisa lewat. Kalau nongkrongnya sampai menutup jalur, sama saja. Jadi saya mengimbau, mari kita jaga sama-sama, aktifkan ruang publik ini, dan bangun budaya saling menghormati,” ujarnya.
Pembangunan trotoar ramah disabilitas ini sejalan dengan arah kebijakan Pemerintah Kota Bandung dalam menciptakan kota yang human-centered dan menjamin hak akses semua kalangan terhadap ruang kota.
Jika percontohan ini sukses secara fungsi dan sosial, DSDABM siap memperluas penerapannya ke berbagai titik strategis lainnya di Kota Bandung.
“Kalau ini berhasil, ini akan jadi model di banyak titik lain di Bandung. Jadi kita mulai dari sini dulu. Hal yang penting nyaman, aman, dan inklusif,” pungkas Didi.
Pemerintah Kota Bandung terus berupaya memperbaiki kualitas ruang publik melalui pendekatan yang adaptif dan berbasis kebutuhan masyarakat.
Proyek trotoar di Taman Lalu Lintas menjadi bukti bahwa infrastruktur kota tidak hanya soal beton dan aspal, tapi juga tentang nilai, akses, dan partisipasi sosial.
Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah, komunitas, dan warga kota, trotoar ini diharapkan menjadi simbol baru dari Bandung yang ramah, sehat, dan inklusif bagi semua.***