HALOJABAR.CO – Warga Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, kembali mengenang tragedi TPA Leuwigajah, Jumat 21 Februari 2025.
Sejumlah sesepuh, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan siswa sekolah melakukan upacara ritual berdoa dan pertunjukan teatrikal soal tragedi bencana TPA Leuwigajah. Kemudian diakhiri dengan doa bersama dan tabur bunga di lokasi bekas longsoran.
Mereka mengenang peristiwa pilu yang menewaskan 157 warga pada tahun 2005 lalu. Saat itu longsoran sampah sepanjang 200 meter dengan tinggi 60 meter itu meluluh lantakan warga di Kampung Cilimus dan Kampung Pojok.
Peristiwa tragis itu diduga dipicu konsentrasi gas metan dari dalam tumpukan sampah. Kondisi itu juga yang diduga menyebabkan suara ledakan dan longsor yang menimbun warga.
“Peristiwanya sangat mengerikan, itu bukan bencana alam melainkan kelalaian manusia akibat dari sebuah tempat penampungan sampah se-Bandung Raya,” kata Abah Widi (62) yang juga sesepuh Kampung Adat Cireundeu saat ditemui, Kamis 21 Februari 2025.
Diterangkannya, pada tahun 2005 TPA Leuwigajah meledak dua kampung yang masuk ke wilayah Batujajar, Kabupaten Bandung Barat rata dengan tanah. Banyak yang meninggal tapi ada juga yang selamat. Di antara yang jadi korban ada juga saudara Abah Widi.
Di lokasi tersebut ada dua rumah saudaranya dan salah satunya selamat lantaran sampah yang menerjang tertahan sebuah pohon kelapa yang berada tepat di depan pintu rumahnya.
BACA JUGA: Promosikan Potensi Pariwisata Lokal, Pemkot Cimahi Gelar Cireundeu Festival
“Peristiwa tersebut sudah 20 kali diperingati, artinya sudah 20 tahun. Kami hanya ingin memberikan pesan moral karena yang meninggalnya kan bukan hewan, tetapi manusia,” ujarnya.
Dikatakannya, Kampung Cireundeu ini aman dari longsor sampah lantaran terhalang gunung. Namun, ada seorang warga Cireundeu yang meninggal dunia karena memiliki istri di Kampung Cilimus.
Adapun hingga kini, warga Cireundeu tidak nyaman dengan adanya bau dan lalat. Itu dikarenakan dulunya TPA Leuwigajah banyak sampah plastik yang mengandung minyak dan itu bukan jumlah yang sedikit.
Sekarang, lanjut Abah Widi, bukan saatnya berbicara siapa yang salah dan tidak. Namun dirinya berharap ada pengelolaan yang lebih baik karena tanah ini milik pemerintah walaupun saat ini dimanfaatkan petani sebagai mata pencaharian mereka.
Ketika akan dijadikan agrowisata atau kawasan lahan konservasi semoga hal itu tidak hanya sekadar wacana melainkan bisa ditindaklanjuti lantaran bisa membuka lapangan pekerjaan bagi para petani.